Oleh : Yamadipati – Pegiat literasi digital
KALSEL TODAY – Pernahkah Anda diminta menyiapkan data berupa hardcopy dan softcopy sekaligus? Saya pernah!
Sebagai pegiat literasi digital yang terkadang harus berurusan dengan instansi pemerintah, terkadang saya berpikir mengenai permintaan data yang terkesan tumpang tindih, terlebih saat ini dunia sudah memasuki era industri 4.0 yang sebentar lagi akan menjadi era society 5.0 nampaknya banyak orang yang akan mengalami gegar budaya.
Kita sudah tidak asing lagi dengan Revolusi Industri 4.0 yang berawal dari konsep Industri era teknologi informasi dan komunikasi, dengan 6 pilar utama yaitu masyarakat digital, energi berkelanjutan, mobilitas cerdas, hidup sehat, keamanan sipil, dan teknologi di tempat kerja.
Negara kita, Indonesia pun sudah menerapkan Industri 4.0 tersebut. Sistem digital yang diterapkan hampir di seluruh instansi pemerintah maupun swasta berdampak positif pada proses pengambilan kebijakan yang dilakukan, pelayanan dan inovasi menjadi lebih cepat. Seharusnya digitalisasi menjadikan sistem pelayanan dan sistem pendataan menjadi lebih efektif dan efisien, tapi di banyak instansi masih mengandalkan dokumen kertas dan digital secara bersamaan, ini maunya apa ya?
Sistem elektronik terintegrasi yang diharapkan terbangun di seluruh Indonesia, bertujuan mempercepat perwujudan Satu Data Indonesia atau SATA. Adanya sistem digital akan menjadi sebuah jalan bagi percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Era digitalisasi di sektor pemerintahan menjadi sebuah hal yang sangat penting. Utamanya yang mengarah kepada sektor percepatan perizinan dan sektor pelayanan maupun kebijakan. Masyarakat perlu diajarkan cara mencerna data, dan pemerintah juga harus tahu cara mengemas informasi agar sampai dan dapat dipahami oleh warganya agar tidak menimbulkan salah persepsi.
Masyarakat pada umumnya masih kurang peduli dengan problem data, cara mendapatkannya, keamanan data serta cara pengemasannya, saat ini sosialisasi yang gencar untuk lebih memberikan pemahaman kepada masyarakat nampak masih tidak menyentuh seluruh lapisan, bahkan banyak kalangan terdidik yang tidak memahami literasi digital dan mereka dikalahkan oleh kepintaran perangkat teknologinya.
Pada dasarnya, digitalisasi dibuat untuk melayani kebutuhan manusia, agar masyarakat bisa menikmati hidup dan merasa nyaman. Sinergi manusia dan teknologi bertujuan agar masyarakat semakin sejahtera.
Sementara di satu sisi, kesiapan SDM pemerintah dan dukungan teknologi berbanding terbalik, tidak jarang, instansi pemerintah meminta data yang sama secara terus menerus, contoh kecilnya adalah data kepegawaian yang hampir seluruhnya manual berupa kertas fotocopy, meski saat ini sudah mulai digitalisasi tetapi masih setengah hati, karena data tidak sepenuhnya digital, masih diperlukan data manualnya, dengan alasan legalisir yang harus cap dan tandatangan basah, bukannya teknologi sudah mendukung legalisasi dengan menggunakan QR Code?
Tak jarang data yang sama diminta berkali-kali, padahal sebelumnya data yang sama sudah dimiliki oleh instansi pemerintah, apakah sistem penyimpanan awan belum diperkenalkan? Harus berapa banyak diperlukan gudang untuk menyimpan dokumen-dokumen yang sekali pakai buang itu? Berapa banyak lagi pohon yang harus ditebang untuk membuat kertas yang pada akhirnya menumpuk di gudang dan tak pernah dilirik lagi?
Ketika data diminta softcopy dan hardcopy secara bersamaan, semuanya hanya akan berujung pada masalah baru; tumpukan kertas.
Iki mau ne opo tho Dul?
Penulis : Yamadipati
Pegiat literasi digital