KALSEL TODAY – Terungkap kisruhnya Perusahaan Daerah Baratala Tuntung Pandang (PD Baratala) pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) versus mantan rekan kerja yakni PT Bimo Taksoko Gono (BTG) yakni investor sekaligus kontraktor (pemegang Surat Perintah Kerja hingga tahun 2020) ditanggapi praktisi hukum dari Pimpinan AMZ & Associates, Ahmad Mujahid Zarkasy.
Menurutnya hubungan keperdataan antara kedua perusahaan tersebut sudah tidak ada lagi seiring berakhirnya Surat Perintah Kerja (SPK) dari perusahaan plat merah itu kepada BTG.
“Kalau SPK itu habis lalu ada janji lisan kalau itu bisa dibuktikan, bisa itu di perdatakan, namun perlu diingat bahwa perdata lebih pada bukti surat. Tapi kalau dia (BTG: red) menggugat itu sah-sah saja tapi secara hubungan keperdataan sudah selesai ketika SPK itu habis,” terangnya saat ditemui di tempat kerjanya Komplek Pemurus Permai jalan Krisna III Kota Banjarmasin.
Sehingga ia menuturkan bahwa hak PD Baratala untuk bekerjasama kepada pihak manapun, namun Jahid–biasa disapa, mempertanyakan terkait pekerjaan yang dituangkan kedalam SPK untuk pengerjaan apa, karena menurutnya pemegang IUP tidak bisa memberikan SPK sepanjang untuk pekerjaan inti artinya mulai dari melakukan kegiatan pertambangan maupun penjualan itu harus dikerjakan oleh pemegang IUP sedangkan untuk pekerjaan awal seperti pengupasan lahan itu masih bisa di SPK-kan itupun harus mengantongi Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP).
“Sebagai pemegang IUP tidak boleh memberikan SPK, ada ketentuannya peraturan menteri. Ada pemilik IUP, ada pemilik IUJP, Izin Usaha Jasa Pertambangan nah itu bisa di SPK kan namun sekedar untuk kegiatan pengupasan lapisan (stripping) batuan penutup dan pengangkutan mineral atau batubara,” ujar Jahid sembari mengirimkan ringkasan Permen ESDM nomor 28 tahun 2009 tentang Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara yang dimaksud melalui aplikasi pesan ke awak jurnalis kalseltoday.co.id. Sehingga menurutnya apabila bertentangan dengan peraturan tersebut jelas ada hukum yang dilanggar.
“Kalau SPK itu untuk penambangan sampai pengangkutan dan penjualan maka itu melanggar ketentuan pertambangan,” pungkasnya.
Terungkap kisruhnya PD Baratala dengan BTG setelah Bambang Tri Gunadi yang merupakan Direktur perusahaan swasta tersebut mengungkapkan saat melakukan jumpa pers beberapa waktu yang lalu di Banjarmasin. Menurut pengakuanya dari awal pembebasan lahan di Desa Pemalongan Kecamatan Bajuin (dulu Pelaihari) Kabupaten Tanah Laut pada 2005 lalu hingga berakhirnya kerjasama telah mengeluarkan biaya yang diperlukan untuk dapat melakukan aktivitas penambangan sampai dengan penjualan. Sedangkan PD Baratala sebagai rekan kerja menerima pembayaran konstribusi atau royalty serta biaya lainnya yang diperlukan dari BTG. (maa/fae)